BAB I
PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM
- Tauhid (keimanan), yakni Allah adalah Sang pemilik hakiki
- ‘Adl (keadilan)
- Nubuwwah ( sidq, amanah, tablig, fathanah)
- Khilafah
- Ma’ad
BAB II
TAHAPAN PELARANGAN RIBA
a. Tahap pertama
Ar Rum, ayat 39
39.
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).
Dalam ayat ini Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang-orang yang melakukan riba. Dan Allah juga menolak
anggapan orang yang menyatakan bahwa pinjaman riba itu untuk menolong
manusia.
b. Tahap Kedua
An Nisa, ayat 160-161
Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah
dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih.
Dalam ayat ini riba digambarkan sebagai suatu pekerjaan yang dzalim dan bathil.
Dan dalam ayat ini Allah menceritakan tentang balasan siksa bagi kaum
Yahudi yang melakukannya. Dalam ayat ini Allah belum menyatakan akan
haramnya riba bagi umat Islam secara langsung, akan tetapi diberikan gambaran
tentang pelaku riba sehinggan meningkatkan perhatian dan kesiapan untuk
pelarangannya. Yang mana pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam
kaum Yahudi. Ini berarti memberikan isyarat bahwa akan turun ayat yang
akan menyatakan pengharamannya.
c. Tahapan Ketiga
Ali Imran, ayat 130
130.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.
Disini Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, melainkan hanya melrang riba yang berlipat ganda saja.
Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah, yang mana Ia melarang
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di zaman Jahiyah dahulu sedikit
demi sedikit, agar mereka yang sudah terbiasa melakukan riba itu siap
menerimanya.
d. Tahapan Keempat
Al Baqarah, ayat 278-279
278.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Dan pada ayat ini Allah dengan jelas, pasti dan tuntas mengharamkan
riba secara muthlak dengan berbagai bentuknya dan tidak dibedakan besar
kecilnya.
Pengertian riba
Secara bahasa riba adalah: bertambah, berkembang, meningkat.
Jenis-jenis riba
a. Riba pada hutang piutang
· Riba Qard (hutang piutang), yaitu dimana antara dua orang atau lebih melakukan persyaratan/perjanjian diawal melebihi dari jumlah yang diberikan
· Riba
Jahiliyah, yaitu dimana adanya riba karena adanya keterlambatan dalam
membayar hutang. Dengan kata lain, kelebihan yang harus dibayar oleh
orang yang yang berhutang karena terlambat/tidak tepat waktu membayar
hutangnaya.
b. Riba pada jual beli
· Riba Fadhal (pertukaran satu barang dengan barang yang sama), yaitu kelebihan jual beli barang sejenis.
BAB III
PENGENALAN PERBANKAN
Pengertian perbankan (UU no. 10 tahun 1998)
o Menghimpun Dana
o Menyalurkan Dana
o Memberikan Jasa-Jasa lainnya (lalu lintas pembayaran)
Jenis-jenis bank
a) Dari segi fungsi
i) Bank Umum: bisa melakukan transaksi didalam dan luar negeri
ii) BPR: hanya bisa melakukan transaksi dalam negeri, wilayah opperasionalnya hanya di kabupaten dan kota madya.
b) Dari segi kepemilikan
i) Milik Pemerintah (BUMN), seperti Mandir, BRI, BNI,BPD (seperti Bank Riau KEPRI)
ii) Milik Swasta, seperti Bank Mega, BCA, Mu’amalat
iii) BUKOPIN (Bank Unit Koperasi Indonesia)
iv) Bank Campuran
v) Milik Bank Asing, seperti City Bank, Japnis Bank
c) Dari segi operasional
i) Bank Devisa
ii) Bank non Devisa: tidak bisa melayani transfer dan fungsinya hanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat.
d) Dari segi menentukan harga
i) Bank Konvensional (berdasakan bunga)
ii) Bank Syari’ah (berdasarkan margin/bagi hasil)
Jenis-jenis kantor bank
1. Kantor Pusat/Bank Induk. Kedudukannya berada di tingkat nasional (ibu kota negara).
2. Kantor Cabang. Kebijakan dilihat dari prospek daerahnya dan kedudukannya berada di tingkat propinsi.
3. Kantor
Cabang Pembantu. Kedudukannya berada di tingkat kota madya dan
opersionalny hanya di kecamatan yang didiami, tapi memiliki fungsi
menghimpun dana, menyalurkan dana dan memberikan jasa-jasa.
4. Kantor Kas. Fungsinya hanya menghimpun dana dari masyarakat
Kegiatan Perbankan Konvensional
a. Menghimpun dana
- Tabungan
- Deposito
- Giro
b. Menyalurkan dana
- Kredit
- Investasi
- Surat-surat berharga (jangka pendek)
c. Memberikan jasa-jasa
- Transfer (kiriman uang), yaitu pengiriman uang ke rekening yang sejenis
- Kliring (clearing), yaitu pengiriman uang ke rekening yang berbeda
- Inkaso (colection), yaitu pengiriman uang ke rekening yang berada di luar negeri
- Safe Deposito Box, yaitu penitipan barang atau suran-surat berharga
- Bank Card, bank yang berjasa dalam transaksi pembelian
- Bank Notes: cek
- Bank Garansi: jaminan kerja sama
- Referensi Bank, yaitu pemberian jasa untuk pilihan transaksi
- Bank Draft
- Letter of Credit (L/C), yaitu memberikan jasa pembayaran ekspot inport
- Cek Wisata (travellers cheque), cek untuk melakukan wisata diman ceknya ditukarkan di luar negeri
- Jual Beli Surat Berharga (kurang dari satu tahun), seperti surat berharga pasar uang, sertifikat mudharah (SIMA)
Sumber-sumber dana bank
- Pemilik saham (modal sendiri)
- Dana Masyarakat
- Lembaga
Saham adalah surat berhaga tanda kepemilikan
Obligasi adalah surat tanda hutang
Bank Syari’ah
Bank
syari’ah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan
syariat islam. Tujuan dari bank islam adalah untuk mengarahkan kegiatan
ekonomi untuk bermuamalah secara islami, untuk menjaga kestabilan
ekonomi dari gangguan inflasi karena penetapan bunga, dan juga untuk
menyelamatkan umat dari ketergantungan kepada bank konvensional.
Penyaluran dana di bank syari’ah
- Pembiayaan berdasarkan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah
- Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, salam dan istitsna’
- Pembiayaan barang berdasarkan akad ijarah atau sewa beli pada akad ijarah muntahiya bit tamlik
- Pengambil alihan hutang berdasarkan akad hiwalah
BAB IV
SEJARAH PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA
A. Sejarah perkembangan bank konvensional di Indonesia
Sejara perkembangan perbankan di Indonesia tidak lepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 28 januari 1828, kemudian menyusul Nederlandche Indische Escompto Maatcappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri.
B. Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia
Latar belakang perkembangannya berawal dari;
- Pengaruh dari negara Islam lain
- Keinginan dari umat Islam untuk terbebas dari riba
Gagasan untuk membentuk bank syari’ah pada 1980-an
- Karnaen Aperwataatmadja
- M Dawam Rahardjo, yang dikenal dengan tokoh masyarakat madani
- A M Saefuddin
- M Amien Aziz
Political Will: keinginan berpolitik, yang mana politik sangat erat kaitannya dengan pemerintah.
Loka
karya MUI di Cisarua pada 1990, dimana MUI merekomendasikan pembentukan
kelompok kerja untuk mendirikan bank islam/bank syari’ah.
Sejarah
perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia mencerminkan
dinamika aspirasi dan keinginan dari masyarakat Indonesia sendiri untuk
memiliki sebuah alternatif sistem perbankan menerapkan sistem bagi hasil
yang menguntungkan bagi nasabah dan bank. Rintisan praktek perbankan
syariah dimulai pada awal tahun 1980-an, sebagai proses pencarian
alternatif sistem perbankan yang diwarnai oleh prinsip-prinsip
transparansi, berkeadilan, seimbang, dan beretika
Mengamati
semakin berkembangnya aspirasi masyarakat Indonesia untuk memiliki
lembaga keuangan syariah, maka para pemuka agama yang tergabung dalam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi
masyarakat tersebut dengan melakukan pendalaman tentang konsep-konsep
keuangan syariah termasuk sistem perbankan syariah.
Pada tanggal 18-20 Agustus 1990,
MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25
Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja
pendirian bank Islam pertama di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut
Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk secara konkrit menindaklanjuti
aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan berbagai
persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992.
Selain BMI, pionir perbankan syariah yang lain adalah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang
didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute
for Sharia Economic Development (ISED).
Dukungan
Pemerintah dalam mengembangkan sistem perbankan syariah ini selanjutnya
terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem
operasional bank syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992. Ketentuan ini menandai dimulainya
era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam
sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan
bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa
perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian
nasional.
Selanjutnya,
melalui perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, keberadaan sistem
perbankan syariah semakin didorong perkembangannya. Berdasarkan
Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan
untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu
melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertamakalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.
Dalam
perjalanan waktu, pengalaman membuktikan bahwa sistem perbankan syariah
telah menjadi salah satu solusi untuk membantu menyokong perekonomian
nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem perbankan
syariah terbukti mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan
nasional ketika melewati guncangan. Kemampuan itu semakin mempertegas
posisi sistem perbankan syariah sebagai salah satu potensi penopang
perekonomian nasional yang layak diperhitungkan.
Pada
akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank
Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal,
terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dengan
positioning khas perbankan syariah sebagai ”lebih dari sekedar bank” (beyond banking),
yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih
beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi,
diyakini bahwa di masa-masa mendatang akan semakin tinggi minat
masyarakat Indonesia untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya
hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam
mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara
sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
BAB V
PERBADAAN BANG SYARIAH DAN KONVENSIONAL
Beberapa
kalangan masyarakat masih mempertanyakan perbedaan antara bank syariah
dengan konvensional. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menganggap bank
syariah hanya trik kamuflase untuk menggaet bisnis dari kalangan muslim
segmen emosional. Sebenarnya cukup banyak perbedaan antara bank syariah
dengan bank konvensional, mulai dari tataran paradigma, operasional,
organisasi hingga produk dan skema yang ditawarkan. Paradigma bank
syariah sesuai dengan ekonomi syariah yang telah dijelaskan di muka.
Sedangkan perbedaan lainnya adalah sbb.:
Jenis perbedaan
|
Bank syariah
|
Bank konvensional
|
Landasan hukum
|
Al Qur`an & as Sunnah + Hukum positif
|
Hukum positif ( UU)
|
Basis operasional
|
Bagi hasil
|
Bunga
|
Pendapatan
|
Margin, Bagi hasil, Upah (untuk sewa) dan Fee (untuk servis)
|
Bunga dan Fee
|
Organisasi
|
BI, DSN dan DPS
|
BI
|
Produk
|
Pembiayaan (patnerhenship, jual beli), Sewa dan Jasa-jasa
|
Pencairan kredit dan Jasa-jasa
|
Perlakuan terhadap Dana Masyarakat
|
Dana masyarakat merupakan titipan/investasi yang baru mendapatkan hasil bila diputar/diusahakan’ terlebih dahulu
|
Dana masyarakat merupakan simpanan yang harus dibayar bunganya saat jatuh tempo
|
Sektor penyaluran dana
|
Harus yang halal
|
Tidak memperhatikan halal/haram
|
Perlakuan Akuntansi
|
Accrual dan cash basis (untuk bagi hasil)
|
Accrual basis
|
Pola hubunngan
|
Kemitraan
|
Debitur-kreditur
|
Orientasi
|
Profit dan Falah
|
Profit
|
Lembaga penyelesaian sengketa
|
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI)
|
Peradilan Negeri
|
BAB VI
WADI’AH
Menurut
Bank Indonesia (1999), wadia’h adalah akad penitipan barang/uang antara
pihak yang mempunyai baranng/uang dengan pihak yang diberi
kepercayaandengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta
keutuhan barang/uang.landasaan syari’atnya adalah al Qur’an surat an
Nisa’, ayat 58, al Baqarah 283. Serta hadits dari Abi Hurairah bahwa
rasul bersabda: sampaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan
jangan membalas khianant kepada orang yang menghianatimu (HR Abu
Daud).dan juga para tokoha ulama Islam sepanjang masa melakukan ijma’
terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini
jelas terlihat.
Rukun wadi’ah:
- Barang/uang yang diwadi’ahkan
- Pemilih barang /uang yang bertindak sebagai yang menitipkan (muwaddi’)
- Pihak yang menyimpan atau memberikan jasa (mustauda’)
- Ijab qabul
Jenis wadiah
a. Wadiah
yad amanah, yaitu penitipan barang /uang dimana pihak penerima titipan
tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang
bukan diakibatkan perbuatan atas kelalaian penerima titipan.
b. Wadi’ah
yad dhmanah, yaitu akad penitipan barang/uang dimana pihak pnerima
titipan ddengan atau tanpa izin penitp barang dapat memanfaatkan
barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhada kehilangan atau
kerusakan barang titipan.
Jenis-jenis
barang yang diwadi’ahkan antara lain: harta benda (biasanya harta yang
beergerak), uang, dokumen (spt: saham, obligasi, bilyet giro, dll),
barang berharga lainnya, seperti surat tanah, surat wasiat.
Fungsi
|
Prinsip
|
Produk
|
Funding
|
Wadi’ah
|
a. Wadiah yad amanah (safe deposit box)
b. Wadi’ah yad dhamanah (giro wadi’ah)
|
Tabungan:
simpanan yang boleh diambil kapan saja dengan penarikan menggunakan
buku tabungan dan/ATM. Tabungan ini biasanya 100 juta kebawah
Giro: simpanan yang boleh diambil kapan saja dengan penarikan menggunakan BG (Bilyet Giro). Ini biasannya 100 juta keatas
Deposito: simpanan berjangka (1, 3, 6 dan 12 bulan) yang pencairannya sesuai jatu tempo.
Giro dalam bank ada 2, yaitu:
- Giro wadi’ah, pendapatan berupa bonus
- Giro mudharabah, pendapatan berupa bagi hasil
Kemitraan/patnerhenship
Bagiannya patnerhenship menurut fiqh mu’amalah adalah:
· Mudharabah Perbankan
· Musyarakah
· Muzaraah Pertanian
· Musaqah
Mudharabah
itu ada yang bersifat mudharabah muthlaqah dimana produknya berupa
deposito mudharabah, giro mudharabah, tabungan mudharabah.
Jual Beli
1. Mudharabah
(fatwa DSN no 4) adalah: akad jual beli dengan sistem pembayaran
cicilan antara bank dengan nasabah dengan menyepakatati jumlah harga
pokok + margin keuntungan yang harus dibayar nasabah.
Beda
mudharabah dengan salam dan istitsna’ adalah kalau mudharabah barangnya
sudah banyak stand by di pasaran, sedangkan salam dan istitsna’ belum
banyak atau harus dipesan terlebih dahulu.
2. Istisna’
(fatwa no 6) adalah: akad jual beli dengan sistem pemesanan kriteria
barang dengan kesepakatan pembayaran secara cicilan atau pelunasan
setelah barang tersedia.
Alternatif/pilihan transaksi
a. Pesan + DP = lunas setelah barang ada
b. Pesan + DP = cicilan sampai lunas, jelas jangka waktunya
c. Pesan tanpa DP = pelunasan setelah barang ada
d. Pesan tanpa DP = dicicil
3. Salam
(fatwa no 5) adalah: akad jual beli dengan sistem pemesanan kriteia
barang dan pembayaran dilakukan diawal, sedang barangnya menyusul.
Ijarah
Ijarah
adalah akad yang dilakukan untuk memberikan penggunaan manfaat dari
suatu barang kepada oarang lain dengan cara memberikan imbalan.
Wakalah (mewakilkan)
Aplikasi dalam perbankan
a. Transfer uang (transfer uang melalui cabang suatu bank dan transfer uang melalui ATM)
b. Lettter of Credit Import Syari’ah
c. Letter of Credit Eksport Syari’ah
Kafalah (jaminan)
Aplikasi dalam perbankan
a. Bank
garansi, yaitu surat jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin
pihak ketiga atas permintaan nasabah sehubungan dengan transaksi atau
kontrak yang telah mereka sepakati ssebelumnya.
b. Kartu Kredit
Hawalah (pengalihan)
Aplikasinya
a. Anjak piutang
b. Post date check, dimana bank bertindak sebagai juru tagi tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar