1.
Komisi XI DPR RI yang membidangi Departemen Keuangan, Bank Indonesia,
Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Kantor
Menteri Negara BUMN (kinerja keuangan BUMN), Badan Pengawasan Keuangan
Dan Pembangunan (BPKP), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Setjen Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) R,I telah dipercaya menyelesaikan RUU Perbankan
Syariah menjadi UU. Selama pembahasan RUU tersebut telah dilakukan RDPU
(Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan Deputy Gubernur BI bidang Syariah,
Asosiasi Bank Syariah Indonesia/ASBISINDO dan Dewan Syariah Nasional MUI
dan kini memasuki tahap perumusan di Tim Kecil Komisi XI. Setelah tahap
ini selesai, dan melalui mekanisme pengambilan keputusan di DPR, RUU
inisiatif DPR tersebut akan diajukan kepada Presiden untuk pembahasan
tingkat lanjut bersama Pemerintah.
2. Walau
ada keinginan mengembangkan pembahasan perbankan syariah diperluas
mencakup keseluruhan lingkup ekonomi syariah, seperti: asuransi syariah,
pegadaian syariah (ar-rahn), danareksa syariah, obligasi syariah
(sukuk) atau pasar modal syariah (Islamic Fund), pada saat ini fokus
pembahasan ditujukan kepada hanya perbankan syariah dengan pertimbangan:
a) draft yang ada relatif telah siap untuk pembahasan RUU tentang
naskah akademis dan RUU-nya telah diajukan masyarakat perbankan ke DPR
(dari Bank Indonesia dan ASBISINDO); b) Keputusan DPR RI adalah untuk
menyelesaikan tentang RUU Perbankan Syariah menjadi UU.
3.
Berbeda di negara lain, seperti Malaysia dan beberapa negara di Timur
Tengah, dimana inisiasi tentang perbankan syraiah umumnya dari
pemerintah, di Indonesia perbankan syariah lebih didorong oleh
perkembangan kebutuhan masyarakat. Bank Muamalat yang didirikan Jumat, 1
Mei 1992/27 Syawal 1412H, di Jakarta, merupakan dorongan MUI sebagai
hasil Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Indonesia, 19-22 Agustus
1990. Perkembangan ini didukung oleh negara dengan keluarnya UU No
10/1998 tentang Perbankan yang merupakan amandemen UU No 7/1992. Juga,
UU No 23/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No 3/2004 tentang Bank
Indonesia. Dua UU tersebut boleh dikatakan sebagai legal prime mover dan
sekaligus sebagai fundamental hukum bagi mendorong perkembangan
perbankan syariah di Indonesia. Hingga saat ini, perbankan syariah telah
memiliki 3 (tiga) Bank Umum Syariah (dari 131 total Bank Umum di
Indonesia) dan 94 BPR Syariah dari 2077 jumlah BPR se Indonesia. Melihat
posisi volume usaha perbankan syariah di akhir tahun 1999 yang hanya
sebesar Rp 1,1 triliun dan kemudian di akhir tahun 2005 mencapai Rp
20,88 triliun, hal ini jelas menunjukkan perkembangan yang menakjubkan,
yakni mencapai pertumbuhan 1800% dalam 6 tahun atau rata-rata 300%
pertahun. Walaupun demikian, market share perbankan syariah dalam DPK
(Dana Pihak Ketiga) Perbankan Indonesia baru mencapai sekitar 2%, yang
menunjukkan masih kecilnya peran perbankan syariah dalam mendorong
pembangunan di Indonesia.
4. Salah
satu pertanyaan penting adalah apakah dengan (nanti) disahkannya RUU
Perbankan Syariah menjadi UU, kebutuhan mendorong perkembangan perbankan
syariah dapat lebih cepat lagi? UU No 10/1998 memang menjadi referensi
bagi munculnya dua sistem perbankan di Indonesia (dual banking system),
yakni bank yang dikelola dengan sistem bunga (yang dikenal sebagai
perbankan konvensional) dan bank yang dikelola dengan sistem bagi hasil
(lebih dikenal dengan istilah perbankan syariah). Pertumbuhan volume
usaha perbankan syariah yang menakjubkan (butir 3) memang dimungkinkan
karena berada/dimulai pada basis volume usaha yang relatif masih kecil,
yang pada waktu tertentu, ketika mencapai titik optimum skala ekonomis,
perlu mulai dipikirkan dari sekarang tentang legal frameworknya seperti
yang sekarang sedang dibahas dalam RUU Perbankan Syariah.
5. Beberapa hal yang berkembang dalam pembahasan tentang RUU Perbankan Syariah antara lain sebagai berikut:
Dual
banking system. Dalam sistem yang ada sekarang, perbankan konvensional
dapat menjalankan Unit Usaha Syariah (UUS) tetapi perbankan syariah,
karena intrinsic value-nya, tidak dibenarkan melakukan transaksi di luar
prinsip syariah. Instrinsic value yang utama dalam Bank Syariah selain
larangan riba adalah larangan spekulatif (maysir) dan terlibat dalam
transaksi yang tidak jelas (gharar). Situasi pertama membuat bank
konvensional dapat masuk ke pasar perbankan umum dan syariah sekaligus,
sedangkan perbankan syariah tidak mungkin memiliki dua pasar itu
sekaligus. Spin-off dan office chanelling menjadi isu yang terkait
dengan dual banking sistem tersebut, yang apakah harus diatur lebih
lanjut atau tidak. Isu dual banking services bisa mengarah ke salah satu
pilihan.
Pengaturan
dan Pengawasan. Perlukah seorang Deputy Gubernur khusus perbankan
syariah dalam Dewan Gubernur BI. Bagaimana pelaksanaan pengawasan atas
prinsip syariah (Dewan Syariah Nasional MUI versus Komite Fatwa
Perbankan Syariah atau Komite Perbankan Syariah), termasuk masalah Dewan
Pengawas Syariah dan/atau Komisaris di tiap Bank Syariah. Pengawasan
juga dapat dimaksud sebagai perlindungan bagi nasabah perbankan syariah,
baik dari kemungkinan bank fraud maupun bank market-risk.
Bank
ownership. Seberapa jauh orang/badan hukum asing dapat memiliki saham,
yang menunjukkan kepemilikan, dalam perbankan syariah Indonesia.
Termasuk di dalamnya pertanyaan tentang penggunaan dana asing untuk
pembiayaan dan tenaga kerja asing.
Bentuk
usaha. One share one vote (PT) atau one man one vote (koperasi) atau
kombinasi keduanya. Pilihan atas salah satu alternatif dapat menjadi
pertanda ke arah mana perbankan syariah akan berkembang. Misalnya,
pilihan bentuk usaha PT memungkinkan seseorang/sekelompok kecil orang
menguasai mayoritas vote dalam perbankan syariah, sementara pilihan
bentuk usaha koperasi dapat menyebabkan proses pengambilan keputusan
dalam sistem internal perbankan berjalan lama.
Affirmative
rule. Perlukah semacam affirmative rule bagi bank syariah khususnya
dalm rangka mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, misalnya, (a) yang
berkaitan dengan minimnya pengetahuan tentang perbankan syariah di
kalangan masyarakat (perlu sosialisasi atau let the market rule?); (b)
SDM yang langka yang menguasai seluk-beluk perbankan dan sekaligus paham
prinsip-prinsip syariah; (c) dalam rangka API menjelang 2010 tentang
persyaratan minimun modal Rp 100 miliar dan untuk menjadi Bank nasional
harus memiliki modal setor Rp 10 triliun; (d) masalah double-tax
khususnya untuk produk murabahah; dan (e) networking bank syariah yang
relatif masih kecil.
6. Demikianlah beberapa pokok pembahasan yang berkembang dalam pembicaran di DPR RI, yang perlu mendapat keputusan bagi rumusan yang lebih konkrit tentang RUU Perbankan Syariah. Mudah-mudahan seminar ini dapat membantu menjelaskan pilihan-pilihan yang terbaik.
6. Demikianlah beberapa pokok pembahasan yang berkembang dalam pembicaran di DPR RI, yang perlu mendapat keputusan bagi rumusan yang lebih konkrit tentang RUU Perbankan Syariah. Mudah-mudahan seminar ini dapat membantu menjelaskan pilihan-pilihan yang terbaik.
Jakarta, 29 Mei 2006
Anggota
DPR RI Periode 2004-2009 Komisi XI (Keuangan, Perbankan dan Perencanaan
Pembangunan) dari Daerah Pemilihan Kepulauan Riau dan Fraksi Partai
Golkar serta PhD dari Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000).
Disampaikan pada Seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syari’ah
dan Legislasi Nasional diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Dept HUM & HAM RI tanggal 6 Juni 2006 di Grand Candi
Semarang, Jawa Tengah.
0 komentar:
Posting Komentar